Minggu, 09 Juni 2013

0 Politisasi Sepakbola Indonesia




Wakil Presiden FIFA, Pangeran Ali bin al-Hussein, mengeluarkan seruan untuk dunia sepakbola Indonesia dalam akun Twitternya: "Sangat penting bagi kita untuk menyingkirkan politik dari permainan (sepakbola)."Seruan dari Pangeran Ali ini kembali mengingatkan kita, bahwa politisasi dunia sepakbola sudah sedemikian akut di tanah air. Pertanyaan mengemuka: bagaimana bisa sepakbola Indonesia terkait dengan politik. Menjawab pertanyaan itu, sangatlah elok jika kita menengok akar sejarah sepakbola Indonesia.



Sebagaimana halnya di negara-negara Amerika Latin, sepakbola di Indonesia diperkenalkan oleh kaum penjajah. Orang-orang Belanda membentuk klub-klub untuk menghidupkan permainan ini sebagai bagian dari rekreasi. Tidak ada ikhtiar serius untuk menjadikan sepakbola tumbuh profesional. Semuanya amatir dan didasarkan pada hobi maupun alasan-alasan sosial lainnya. Pembentukan klub sepakbola oleh kaum kolonial mendapat tandingan dari masyarakat lokal. Di sejumlah kota seperti Surabaya, Jakarta, Bandung, Makassar, Medan, dan lain-lain, warga mendirikan klub sendiri yang beranggotakan orang-orang non-kulit putih. Ada aroma perlawanan terhadap penjajahan Belanda dalam pendirian klub lokal ini. Klub-klub lokal ini kemudian bersatu membentuk persatuan sepakbola di tingkat kota atau disebut bond. Mulanya klub-klub ini menggunakan nama dengan bahasa Belanda, dan kemudian berubah menggunakan bahasa Indonesia. Bond ini selalu menyebutkan nama kota sebagai bagian identitas, dan sebagian membubuhkan nama Indonesia sebagai pengakuan atas eksistensi negara ini. Sebut saja Persatuan Sepakbola Indonesia Surabaya, Persatuan Sepakbola Indonesia Bandung, Persatuan Sepakbola Indonesia surakarta, Persatuan Sepakbola Indonesia Semarang, dan lain-lain. Ini bagian dari politik memperjuangkan kemerdekaan. Sejumlah klub-klub atau bond ini kemudian bersatu membentuk Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) pada 19 April 1930. Kelak PSSI menjadi federasi resmi sepakbola Indonesia saat Indonesia merdeka. Ketua pertama federasi ini adalah Soeratin Sosrosoegondo. PSSI mulai menggelar kompetisi perserikatan pada 1931 dengan VIJ Jakarta (kelak Persija) sebagai juara. Kompetisi perserikatan ini hanya terhenti pada 1944-1947, saat perjuangan kemerdekaan melalui jalur peperangan semakin meningkat.



Setelah Indonesia merdeka, klub-klub perserikatan meneruskan kompetisi dan mendapat dukungan dari negara. Tidak ada bukti hitam di atas putih, bahwa klub-klub perserikatan secara resmi dimiliki pemerintah daerah setempat dan tercatat sebagai aset daerah. Namun sudah jamak, jika klub-klub ini dibiayai oleh dana pemerintah daerah, dan posisi-posisi penting klub seperti ketua umum, manajer, hingga bendahara dijabat oleh elite politik dan pemerintahan daerah setempat. Bahkan petinggi militer juga ikut terlibat menjadi pengurus klub perserikatan. Kehadiran petinggi pemerintah daerah di klub perserikatan menegaskan, betapa penting dan strategisnya sebuah klub sepakbola. Keberhasilan klub sepakbola di suatu daerah acap menjadi bagian dari kampanye keberhasilan seorang pemimpin daerah. Persaingan antar klub perserikatan menjadi bentuk lain bagi persaingan antarkota maupun antarprovinsi. Selama berpuluh-puluh tahun, Persib Bandung identik dengan Jawa Barat, Persebaya identik dengan Jawa Timur, dan PSM Makassar identik dengan Sulawesi Selatan, atau bahkan identik dengan pulau Sulawesi sendiri.

Dengan sejarah panjang tersebut, tak heran jika aroma politik sulit lepas dari sepakbola Indonesia. Apalagi, sepakbola adalah olahraga paling disukai rakyat Indonesia, dan menjanjikan massa melimpah.

Di era reformasi, citra sepakbola sebagai alat mobilisasi politik belum turun, walau tak sepenuhnya seperti era Orde Baru. Mayoritas pengurus klub di Indonesia memiliki keterkaitan dengan partai politik tertentu, terutama partai politik besar. Saat pemilihan kepala daerah, kandidat kepala daerah merasa perlu hadir di stadion lengkap dengan atribut klub daerah tersebut, menyaksikan para pemain pujaan publik bertanding.

Jika mau jujur, sebenarnya fenomena keterlibatan politik dalam sepakbola bukan khas Indonesia. Di Spanyol, sepakbola merupakan bagian dari identitas pertarungan politik pemerintah berkuasa dengan kelompok separatis. Klub Barcelona menjadi simbol perjuangan rakyat Katalan untuk lepas dari Spanyol. Sementara itu, Real Madrid menjadi representasi pemerintah Spanyol, terutama pada masa Rezim Jenderal Franco.

Namun di negara tersebut politik dalam sepakbola tak sampai menyentuh tim nasional. Ini berbeda dengan yang terjadi di Indonesia. Aroma dan isu politik di tingkat klub menular hingga tingkat federasi. Kita masih ingat, bagaimana tribun yang ditempati pendukung timnas Indonesia di stadion Bukit Jalil, Malaysia, saat final Piala AFF 2010, dijejali spanduk-spanduk wajah para politisi Indonesia.

Saat penyelenggaraan final Piala AFF di Jakarta, Ketua Umum PSSI Nurdin Halid tidak bersedia menurunkan harga tiket penonton, walau diminta oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Harga tiket baru turun setelah Nurdin ditelpon oleh Ketua Umum partai Golkar Aburizal Bakrie. Nurdin memang kader dan pengurus partai tersebut.

Sejumlah pengurus klub sepakbola atau petinggi daerah yang mengurusi sepakbola di Indonesia juga anggota Partai Golkar atau memiliki kedekatan emosional dengan partai berlambang pohon beringin itu. Ada pula pengurus yang berasal dari partai politik lain, namun tak sebanyak Golkar.


Kepengurusan PSSI dan KPSI saat ini juga diisi sejumlah politisi dari Partai Golkar, Partai Demokrat, dan PDI Perjuangan. Bahkan publik awam mengidentifikasi pertarungan antara PSSi dan KPSI sebenarnya pertarungan antarparpol untuk kepentingan pemilu 2014. Ada juga yang dengan bersemangat menyebut ini pertarungan antara Bakrie dengan Arifin Panigoro.

Jadi, pertanyaan berikutnya: bisakah sepakbola Indonesia dilepaskan dari politik? FIFA sebenarnya tak bisa melarang keterlibatan politisi dalam dunia sepakbola. FIFA hanya meminta agar tidak ada intervensi terhadap independensi federasi sepakbola resmi di suatu negara. Dan sejauh ini, di negara-negara yang masih memiliki aroma politik yang kental dalam dunia sepakbola mereka, tidak ada intervensi terhadap federasi maupun tim nasional.

Di Spanyol, Italia, atau Prancis, tidak ada upaya membentuk federasi tandingan atau timnas tandingan. Sebenci-bencinya klub-klub Italia selatan terhadap klub Italia utara yang kaya raya dan diuntungkan secara politik, tidak sampai membuat mereka bersatu mendirikan federasi sepakbola tandingan. Berlusconi juga tidak menggalang perlawanan terhadap FIGC (PSSI Italia) bersama Juventus, karena dihukum berat gara-gara skandal calciopoli.

Sementara itu tim nasional Spanyol juga diisi oleh pemain-pemain Barcelona yang merayakan tropi juara Piala Eropa dengan mengibarkan bendera Katalan. Barcelona tidak melarang para pemain mereka memperkuat timnas Spanyol, dengan alasan federasi sepakbola Katalan membentuk timnas sendiri.

Inilah yang sepatutnya diteladani di Indonesia. Perbedaan pandangan politik tak seharusnya membuat dunia sepakbola terpecah-belah. Sulit bagi semua pihak melarang politisi atau siapapun berkecimpung di dunia sepakbola. Toh faktanya selama ini, orang-orang seperti keluarga Bakrie, Jusuf Kalla, ataupun Arifin Panigorolah yang memiliki kepedulian terhadap dunia sepakbola, dan bersedia menggelontorkan uang untuk kegiatan sepakbola.

Namun, harus ada 'common sense' dan kesepakatan bersama, bahwa perbedaan pandangan politik harus dibingkai dalam aturan. Jika 'common sense' dan etika ini tak dilanggar dan dipahami bersama, tentu perpecahan karena politik tak terjadi.

Kita tahu, Djohar Arifin Husein dipilih secara sah melalui kongres yang sah sebagai ketua umum PSSI 2011-2015, dan memiliki legitimasi di mata FIFA. Apapun yang terjadi, ia selayaknya diberikan kesempatan menyelesaikan masa tugasnya hingga akhir. Menyerang kepengurusan PSSI yang diakui oleh FIFA dengan dalih apapun hanya akan memunculkan reaksi balik dengan dalih apapun juga. Setiap dalih maupun argumentasi akan selalu bertabrakan dan tak pernah sinkron, karena memiliki rasionalisasi tafsir masing-masing.

Sejak 2007-2011, semua pihak cukup bersabar menanti Nurdin Halid memimpin PSSI, walau FIFA menyebut ada pelanggaran statuta. Di bawah Nurdin pada periode pertama 2003-2007, prestasi sepakbola Indonesia tak mengkilap. Namun semua pihak masih memberikan kesempatan kepada Nurdin menyelesaikan kepengurusan periode kedua, tanpa adanya gangguan pembentukan federasi dan timnas tandingan.

Bahkan semua oposisi Nurdin saat itu tak berhasrat untuk memisahkan diri dari PSSI. Liga Primer Indonesia yang disebut sebagai breakaway league sejak awal sudah menyatakan ingin berkompetisi di bawah PSSI yang diketuai Nurdin, walau akhirnya ditolak. Klub-klub LPI juga siap menyumbangkan pemain untuk timnas, namun tidak diterima.


Jadi, sebenarnya konflik bisa diakhiri dengan mulus, jika pemerintah memahami ini semua. Selama ini pemerintah tidak pernah menoleransi adanya gerakan separatis yang mencoba mendirikan negara tandingan. Menjadi pemenang pemilu, SBY bisa melanjutkan pemerintahan tanpa diganggu oleh presiden RI tandingan, walau banyak yang mengatakan pemilu diwarnai kecurangan. Para politisi juga masih cukup waras untuk tidak membikin negara atau presiden tandingan. Semua tetap berada di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pola pandang ini sebenarnya bisa dipakai untuk menyelesaikan konflik di tubuh sepakbola Indonesia. Pemerintah cukup tidak mengizinkan federasi tandingan berdiri, dan semua kompetisi sepakbola berada di bawah PSSI. Apalagi, PSSI sudah sepakat untuk menerima Liga Super Indonesia di bawah naungannya hingga ada penyatuan liga kembali.


Dengan ketegasan seperti itu, maka pemerintah tak perlu capek-capek membentuk Task Force. Pemerintah pun tidak perlu melakukan intervensi. Jika ini dilaksanakan, maka pemerintah menutup peluang bagi terjadinya dualisme serupa di organisasi olahraga lain pada masa mendatang.


Dengan kata lain, kuncinya ada pada legowo (kebesaran hati) dan semangat sportivitas untuk memberikan kesempatan pada orang lain untuk bekerja. Saya kira, itu bakal dipahami seorang petinggi olah raga seperti Pangeran Ali bin al-Hussein.


0 komentar:

Posting Komentar

 

ADITYA BLOG Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates