Wakil
Presiden FIFA, Pangeran Ali bin al-Hussein, mengeluarkan seruan untuk dunia
sepakbola Indonesia dalam akun Twitternya: "Sangat penting bagi kita untuk
menyingkirkan politik dari permainan (sepakbola)."Seruan dari Pangeran Ali
ini kembali mengingatkan kita, bahwa politisasi dunia sepakbola sudah
sedemikian akut di tanah air. Pertanyaan mengemuka: bagaimana bisa sepakbola
Indonesia terkait dengan politik. Menjawab pertanyaan itu, sangatlah elok jika
kita menengok akar sejarah sepakbola Indonesia.
Sebagaimana
halnya di negara-negara Amerika Latin, sepakbola di Indonesia diperkenalkan
oleh kaum penjajah. Orang-orang Belanda membentuk klub-klub untuk menghidupkan
permainan ini sebagai bagian dari rekreasi. Tidak ada ikhtiar serius untuk
menjadikan sepakbola tumbuh profesional. Semuanya amatir dan didasarkan pada
hobi maupun alasan-alasan sosial lainnya. Pembentukan klub sepakbola oleh kaum
kolonial mendapat tandingan dari masyarakat lokal. Di sejumlah kota seperti
Surabaya, Jakarta, Bandung, Makassar, Medan, dan lain-lain, warga mendirikan
klub sendiri yang beranggotakan orang-orang non-kulit putih. Ada aroma
perlawanan terhadap penjajahan Belanda dalam pendirian klub lokal ini. Klub-klub
lokal ini kemudian bersatu membentuk persatuan sepakbola di tingkat kota atau
disebut bond. Mulanya klub-klub ini menggunakan nama dengan bahasa Belanda, dan
kemudian berubah menggunakan bahasa Indonesia. Bond ini selalu menyebutkan nama
kota sebagai bagian identitas, dan sebagian membubuhkan nama Indonesia sebagai
pengakuan atas eksistensi negara ini. Sebut saja Persatuan Sepakbola Indonesia
Surabaya, Persatuan Sepakbola Indonesia Bandung, Persatuan Sepakbola Indonesia
surakarta, Persatuan Sepakbola Indonesia Semarang, dan lain-lain. Ini bagian
dari politik memperjuangkan kemerdekaan. Sejumlah klub-klub atau bond ini
kemudian bersatu membentuk Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) pada 19
April 1930. Kelak PSSI menjadi federasi resmi sepakbola Indonesia saat
Indonesia merdeka. Ketua pertama federasi ini adalah Soeratin Sosrosoegondo.
PSSI mulai menggelar kompetisi perserikatan pada 1931 dengan VIJ Jakarta (kelak
Persija) sebagai juara. Kompetisi perserikatan ini hanya terhenti pada
1944-1947, saat perjuangan kemerdekaan melalui jalur peperangan semakin
meningkat.
Setelah
Indonesia merdeka, klub-klub perserikatan meneruskan kompetisi dan mendapat
dukungan dari negara. Tidak ada bukti hitam di atas putih, bahwa klub-klub
perserikatan secara resmi dimiliki pemerintah daerah setempat dan tercatat
sebagai aset daerah. Namun sudah jamak, jika klub-klub ini dibiayai oleh dana
pemerintah daerah, dan posisi-posisi penting klub seperti ketua umum, manajer,
hingga bendahara dijabat oleh elite politik dan pemerintahan daerah setempat.
Bahkan petinggi militer juga ikut terlibat menjadi pengurus klub perserikatan.
Kehadiran petinggi pemerintah daerah di klub perserikatan menegaskan, betapa
penting dan strategisnya sebuah klub sepakbola. Keberhasilan klub sepakbola di
suatu daerah acap menjadi bagian dari kampanye keberhasilan seorang pemimpin
daerah. Persaingan antar klub perserikatan menjadi bentuk lain bagi persaingan
antarkota maupun antarprovinsi. Selama berpuluh-puluh tahun, Persib Bandung
identik dengan Jawa Barat, Persebaya identik dengan Jawa Timur, dan PSM
Makassar identik dengan Sulawesi Selatan, atau bahkan identik dengan pulau
Sulawesi sendiri.
Dengan
sejarah panjang tersebut, tak heran jika aroma politik sulit lepas dari
sepakbola Indonesia. Apalagi, sepakbola adalah olahraga paling disukai rakyat
Indonesia, dan menjanjikan massa melimpah.
Di era
reformasi, citra sepakbola sebagai alat mobilisasi politik belum turun, walau
tak sepenuhnya seperti era Orde Baru. Mayoritas pengurus klub di Indonesia memiliki
keterkaitan dengan partai politik tertentu, terutama partai politik besar. Saat
pemilihan kepala daerah, kandidat kepala daerah merasa perlu hadir di stadion
lengkap dengan atribut klub daerah tersebut, menyaksikan para pemain pujaan
publik bertanding.
Jika
mau jujur, sebenarnya fenomena keterlibatan politik dalam sepakbola bukan khas
Indonesia. Di Spanyol, sepakbola merupakan bagian dari identitas pertarungan
politik pemerintah berkuasa dengan kelompok separatis. Klub Barcelona menjadi
simbol perjuangan rakyat Katalan untuk lepas dari Spanyol. Sementara itu, Real
Madrid menjadi representasi pemerintah Spanyol, terutama pada masa Rezim
Jenderal Franco.
Namun
di negara tersebut politik dalam sepakbola tak sampai menyentuh tim nasional.
Ini berbeda dengan yang terjadi di Indonesia. Aroma dan isu politik di tingkat
klub menular hingga tingkat federasi. Kita masih ingat, bagaimana tribun yang
ditempati pendukung timnas Indonesia di stadion Bukit Jalil, Malaysia, saat
final Piala AFF 2010, dijejali spanduk-spanduk wajah para politisi Indonesia.
Saat
penyelenggaraan final Piala AFF di Jakarta, Ketua Umum PSSI Nurdin Halid tidak
bersedia menurunkan harga tiket penonton, walau diminta oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono. Harga tiket baru turun setelah Nurdin ditelpon oleh Ketua
Umum partai Golkar Aburizal Bakrie. Nurdin memang kader dan pengurus partai
tersebut.
Sejumlah
pengurus klub sepakbola atau petinggi daerah yang mengurusi sepakbola di
Indonesia juga anggota Partai Golkar atau memiliki kedekatan emosional dengan
partai berlambang pohon beringin itu. Ada pula pengurus yang berasal dari
partai politik lain, namun tak sebanyak Golkar.
Kepengurusan
PSSI dan KPSI saat ini juga diisi sejumlah politisi dari Partai Golkar, Partai
Demokrat, dan PDI Perjuangan. Bahkan publik awam mengidentifikasi pertarungan
antara PSSi dan KPSI sebenarnya pertarungan antarparpol untuk kepentingan
pemilu 2014. Ada juga yang dengan bersemangat menyebut ini pertarungan antara
Bakrie dengan Arifin Panigoro.
Jadi,
pertanyaan berikutnya: bisakah sepakbola Indonesia dilepaskan dari politik?
FIFA sebenarnya tak bisa melarang keterlibatan politisi dalam dunia sepakbola.
FIFA hanya meminta agar tidak ada intervensi terhadap independensi federasi
sepakbola resmi di suatu negara. Dan sejauh ini, di negara-negara yang masih
memiliki aroma politik yang kental dalam dunia sepakbola mereka, tidak ada
intervensi terhadap federasi maupun tim nasional.
Di
Spanyol, Italia, atau Prancis, tidak ada upaya membentuk federasi tandingan
atau timnas tandingan. Sebenci-bencinya klub-klub Italia selatan terhadap klub
Italia utara yang kaya raya dan diuntungkan secara politik, tidak sampai
membuat mereka bersatu mendirikan federasi sepakbola tandingan. Berlusconi juga
tidak menggalang perlawanan terhadap FIGC (PSSI Italia) bersama Juventus,
karena dihukum berat gara-gara skandal calciopoli.
Sementara
itu tim nasional Spanyol juga diisi oleh pemain-pemain Barcelona yang merayakan
tropi juara Piala Eropa dengan mengibarkan bendera Katalan. Barcelona tidak
melarang para pemain mereka memperkuat timnas Spanyol, dengan alasan federasi
sepakbola Katalan membentuk timnas sendiri.
Inilah
yang sepatutnya diteladani di Indonesia. Perbedaan pandangan politik tak
seharusnya membuat dunia sepakbola terpecah-belah. Sulit bagi semua pihak
melarang politisi atau siapapun berkecimpung di dunia sepakbola. Toh faktanya
selama ini, orang-orang seperti keluarga Bakrie, Jusuf Kalla, ataupun Arifin
Panigorolah yang memiliki kepedulian terhadap dunia sepakbola, dan bersedia menggelontorkan
uang untuk kegiatan sepakbola.
Namun,
harus ada 'common sense' dan kesepakatan bersama, bahwa perbedaan pandangan
politik harus dibingkai dalam aturan. Jika 'common sense' dan etika ini tak
dilanggar dan dipahami bersama, tentu perpecahan karena politik tak terjadi.
Kita
tahu, Djohar Arifin Husein dipilih secara sah melalui kongres yang sah sebagai
ketua umum PSSI 2011-2015, dan memiliki legitimasi di mata FIFA. Apapun yang
terjadi, ia selayaknya diberikan kesempatan menyelesaikan masa tugasnya hingga
akhir. Menyerang kepengurusan PSSI yang diakui oleh FIFA dengan dalih apapun
hanya akan memunculkan reaksi balik dengan dalih apapun juga. Setiap dalih
maupun argumentasi akan selalu bertabrakan dan tak pernah sinkron, karena
memiliki rasionalisasi tafsir masing-masing.
Sejak
2007-2011, semua pihak cukup bersabar menanti Nurdin Halid memimpin PSSI, walau
FIFA menyebut ada pelanggaran statuta. Di bawah Nurdin pada periode pertama
2003-2007, prestasi sepakbola Indonesia tak mengkilap. Namun semua pihak masih
memberikan kesempatan kepada Nurdin menyelesaikan kepengurusan periode kedua,
tanpa adanya gangguan pembentukan federasi dan timnas tandingan.
Bahkan
semua oposisi Nurdin saat itu tak berhasrat untuk memisahkan diri dari PSSI.
Liga Primer Indonesia yang disebut sebagai breakaway league sejak awal sudah
menyatakan ingin berkompetisi di bawah PSSI yang diketuai Nurdin, walau
akhirnya ditolak. Klub-klub LPI juga siap menyumbangkan pemain untuk timnas,
namun tidak diterima.
Jadi,
sebenarnya konflik bisa diakhiri dengan mulus, jika pemerintah memahami ini
semua. Selama ini pemerintah tidak pernah menoleransi adanya gerakan separatis
yang mencoba mendirikan negara tandingan. Menjadi pemenang pemilu, SBY bisa melanjutkan
pemerintahan tanpa diganggu oleh presiden RI tandingan, walau banyak yang
mengatakan pemilu diwarnai kecurangan. Para politisi juga masih cukup waras
untuk tidak membikin negara atau presiden tandingan. Semua tetap berada di
bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pola
pandang ini sebenarnya bisa dipakai untuk menyelesaikan konflik di tubuh
sepakbola Indonesia. Pemerintah cukup tidak mengizinkan federasi tandingan
berdiri, dan semua kompetisi sepakbola berada di bawah PSSI. Apalagi, PSSI
sudah sepakat untuk menerima Liga Super Indonesia di bawah naungannya hingga
ada penyatuan liga kembali.
Dengan
ketegasan seperti itu, maka pemerintah tak perlu capek-capek membentuk Task
Force. Pemerintah pun tidak perlu melakukan intervensi. Jika ini dilaksanakan,
maka pemerintah menutup peluang bagi terjadinya dualisme serupa di organisasi
olahraga lain pada masa mendatang.
Dengan
kata lain, kuncinya ada pada legowo (kebesaran hati) dan semangat sportivitas
untuk memberikan kesempatan pada orang lain untuk bekerja. Saya kira, itu bakal
dipahami seorang petinggi olah raga seperti Pangeran Ali bin al-Hussein.
0 komentar:
Posting Komentar